BUNG
KARNO
CINDY ADAMS
PENJAMBUNG
LIDAH RAKJAT INDONESIA
Bab I
TJARA jang paling
mudah untuk melukiskan tentang diri Sukarno ialah dengan menamakannja seorang
jang maha pentjinta.
Ia mentjintai negerinja, ia mentjintai rakjatnja,
ia mentjintai wanita, ia mentjintai seni dan melebihi daripada segala-galanya
ia tjinta kepada dirinya sendiri.
Sukarno adalah
seorang manusia perasaan.
Seorang pengagum. Ia menarik napas pandjang apabila
menjaksikan pemandangan jang indah.
Djiwanja bergetar memandangi matahari
terbenam di Indonesia.
Ia menangis dikala menjanjikan lagu spirituil orang
negro.
Orang mengatakan
bahwa Presiden Republik Indonesia terlalu banjak memiliki darah seorang
seniman."Akan tetapi aku bersjukur kepada Jang Maha Pentjipta, karena aku
dilahirkan dengan perasaan halus dan darah seni.
Kalau tidak demikian,
bagaimana aku bisa mendjadi Pemimpin Besar Revolusi, sebagairnana 105 djuta
rakjat menjebutku ?
Kalau tidak demikian, bagairnana aku bisa memimpin
bangsaku untuk merebut kembali kemerdekaan dan hak-azasinja, setelah tiga
setengah abad dibawan pendjadjahan Belanda?
Kalau tidak demikian bagaimana
aku bisa mengobarkan suatu revolusi ditahun 1945 dan mentjiptakan suatu
Negara Indonesia jang bersatu, jang terdiri dari pulau Djawa, Bali, Sumatra,
Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan bagian lain dari Hindia Belanda
?
Irama suatu-revolusi
adalah mendjebol dan membangun.
Pernbangunan menghendaki djiwa seorang
arsitek.
Dan didalam djiwa arsitek terdapatlah unsur-unsur perasaan dan
djiwa seni.
Kepandaian memimpin suatu revolusi hanja dapat ditjapai dengan
rnentjari ilham dalam segala sesuatu jang dilihat.
Dapatkah orang memperoleh
ilham dalam sesuatu, bilamana ia bukan seorang manusia- perasaan dan bukan
manusia- seni barang sedikit ?
Namun tidak setiap
arang setudju dengan gambaran Sukarno tentang diri Sukarno.
Tidak semua
orang menjadari, bahwa djalan untuk mendekatiku adalah semata- mata melalui
hati jang ichlas.
Tidak semua orang menjadari, bahwa aku ini tak ubahnja
seperti anak ketjil.
Berilah aku sebuah pisang dengan sedikit simpati jang
keluar dari lubuk- hatimu, tentu aku akan mentjintaimu untuk selama- lamanja.
Akan tetapi berilah
aku seribu djuta dollar dan disaat itu pula engkau tampar mukaku dihadapan
umum, maka sekalipun ini njawa tantangannja aku akan berkata kepadamu,
"Persetan !"
Manusia Indonesia
hidup dengan getaran perasaan. Kamilah satu- satunja bangsa didunia jang
mempunjai sedjenis bantal jang dipergunakan sekedar untuk dirangkul.
Disetiap
tempat-tidur orang Indonesia terdapat sebuah bantal sebagai kalang hulu
dan sebuah lagi bantal ketjil berbentuk bulat- pandjang jang dinamai guling.
Guling ini bagi kami gunanja hanja untuk dirangkul sepandjang malam.
Aku mendjadi orang
jang paling menjenangkan didunia ini, apabila aku merasakan arus persahabatan,
sirnpati terhadap persoalan- persoalanku, pengertian dan penghargaan datang
menjambutku.
Sekalipun ia tak diutjapkan, ia dapat kurasakan.
Dan sekalipun
rasa- tidak- senang itu tidak diutjapkan, aku djuga dapat merasakannja.
Dalam
kedua hal itu aku bereaksi menurut instink.
Dengan satu perkataan jang
lembut, aku akan melebur.
Aku bisa keras seperti badja, tapi akupun bisa
sangat lunak.
Seorang diplomat
tinggi Inggris masih belum menjadari, bahwa kuntji menudju Sukarno akan
berputar dengan mudah, kalau ia diminjaki dengan perasaan kasih- sajang.
Dalam sebuah suratnja belum lama berselang jang ditudjukan ke Downing Street
10 ia menulis,
"Presiden Sukarno tidak dapat dikendalikan, tidak dapat
diramalkan dan tidak dapat dikuasai.
Dia seperti tikus jang terdesak.
"Suatu utjapan
jang sangat bagus bagi seseorang jang telah mempersembah kan seluruh hidupnja
kepangkuan tanah- airnja, orang jang 13 tahun lamanja meringkuk dalam pendjara
dan pembuangan, karena ia mengabdi kepada suatu tjita-tjita.
Mungkin aku
tidak sependapat dan sependirian dengan dia tetapi seperti seekor tikus
?
Djantungku berhenti mendenjut ketika surat itu sampai ditanganku. Ia
mengachiri suratnja dengan mengatakan, bahwa ia telah mengusahakan agar
Sukarno mendapat perlakuan jang paling buruk dalam surat-surat kabar.
"Aku tidak tidur
selama enam tahun.
Aku tak dapat lagi tidur barang sekedjap.
Kadang- kadang,
dilarut tengah malam, aku menelpon seseorang jang dekat denganku seperti
misalnja Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, "Bandrio, datanglah
ketempat saja, temani saja, tjeritakan padaku sesuatu jang gandjil, tjeritakanlah
suatu lelutjon, bertjeritalah tentang apa sadja asal djangan mengenai politik.
Dan kalau saja tertidur, ma'afkanlah.
" Aku membatja setiap malam, berpikir
setiap malam dan aku sudah bangun lagi djam lima pagi. Untuk pertama kali
dalam hidupku aku mulai makan obat-tidur.
Aku lelah. Terlalu lelah.
Aku bukan manusia
jang tidak mempunjai kesalahan.
Setiap machluk membuat kesalahan.
Dihari-hari
keramat aku minta ma'af kepada rakjatku dimuka umum atas kesalahan jang
kutahu telah kuperbuat, dan atas kekeliruan- kekeliruan jang tidak kusadari.
Barangkali suatu kesalahanku ialah, bahwa aku selalu mengedjar suatu tjita-tjita
dan bukan persoalan- persoalan jang dingin.
Aku tetap mentjoba untuk menundukkan
keadaan atau mentjiptakan lagi keadaan- keadaan, sehingga ia dapat dipakai
sebagai djalan untuk mentjapai apa jang sedang dikedjar.
Hasilnja, sekalipun
aku berusaha begitu keras bagi rakjatku, aku mendjadi korban dari serangan- serangan
jang djahat.
Orang bertanja,
"Sukarno, apakah engkau tidak merasa tersinggung bila orang mengeritikmu
?
" Sudah tentu aku merasa tersinggung.
Aku bentji dimaki orang. Bukankah
aku bersifat manusia seperti djuga setiap manusia lainnja ?
Bahkan kalau
engkau melukai seorang Kepala Negara, ia akan lemah.
Tentu aku ingin disenangi
orang.
Aku mempunjai ego. Itu kuakui.
Tapi tak seorangpun tanpa ego dapat
menjatukan 10.000 pulau-pulau mendjadi satu Kebangsaan.
Dan aku angkuh.
Siapa pula jang tidak angkuh ?
Bukankah setiap orang jang membatja buku
ini ingin mendapat pudjian ?
Aku teringat akan
suatu hari, ketika aku menghadapi dua buah laporan jang bertentangan tentang
diriku. Kadang-kadang seorang Kepala Pemerintahan tidak tahu, mana jang
harus dipertjajainja.
Jang pertama berasal dari madjalah "Look".
"Look"
menjatakan, bahwa rakjat Indonesia semua menentangku.
Madjalah ini memuat
sebuah tulisan mengenai seorang tukang betja jang mengatakan seakan- akan
segala sesuatu di Indonesia sangat menjedihkan keadaannja dan orang-orang
kampungpun sekarang sudah muak terhadap Sukarno.
Kusudahi membatja
artikel itu pada djam lima sore dan tepat pada waktu aku telah siap hendak
berdjalan- djalan selama setengah djam, seperti biasanja kulakukan dalam
lingkungan istana- inilah satu-satunja matjam gerak badan bagiku seorang
pedjabat polisi jang sangat gugup dibawa masuk. Darimana engkau
dan siapa jang kautemui dan apa jang mereka lakukan ?" Seorang petani-kelapa
jang anaknja sakit keras bermimpi, bahwa ia harus pergi kepada Bapak dan
minta air untuk anaknja. Dipulau Bali orang
pertjaja, bahwa Sukarno adalah pendjelmaan kembali dari Dewa Wishnu, Dewa
Hudjan dalam agama Hindu. Karena, bilamana sadjapun Bapak datang ketempat
istirahat jang ketjil, jang kurentjanakan dan kubangun sendiri diluar Denpasar,
bahkan sekalipun ditengah musim kemarau, kedatanganku bagi mereka berarti
hudjan. Orang Bali jakin, bahwa aku membawa pangestu kepada mereka. Dikala
terachir aku terbang ke Bali disana sedang berlangsung musim kering. Tepat
setelah aku sampai disana, langit tertjurah. Berbitjara setjara terus-terang,
aku memandjatkan- do'a sjukur kehadirat Jang Maha- Pengasih manakala turun
hudjan selama aku berada di Tampaksiring. Karena, kalaulah ini tidak-terdjadi,
sedikit banjak akan mengurangi pengaruhku.Namun, dunia hanja membatja tentang
satu-orang tukang betja. Dunia hanja tahu, bahwa Sukarno bukan ahli ekonomi.
Itu memang benar. Aku bukan ahli ekonomi. Tapi apakah Kennedy ahli ekonorni
? Apakah Johnson ahli ekonomi? Apakah itu suatu alasan bagi madjalah- madjalah
Barat untuk menulis bahwa negeriku sedang menudju kepada keruntuhan ekonomi
? Atau bahwa kami adalah "bangsa jang bobrok". Atau untuk mendjuduli sebuah
tjerita: "Mari kita bergerak menentang Sukarno"? Kalau para wartawan membentji
Djepang atau Filipina, mereka dapat menjebut suatu daerah disana, dimana
seluruh keluarga � ibu, bapak dan anak-anaknja bunuh diri, karena menderita
kelaparan. Ini semua sudah diketahui orang. Tapi tidak! Hanja mengenai
"Orang Djahat dari Asia" mereka membuat foto-foto dari penderitaan rakjat,
karena kekurangan makanan oleh musim kering dan hama tikus, sementara dilatar belakangnja
digambarkan hotelku jang indah. Lalu kepala karangannja: "Indonesia kepunjaan
Sukarno". Tapi itu BUKAN Indonesia kepunjaan Sukarno. Indonesia kepunjaan
Sukarno sekarang adalah suatu bangsa jang 10051 bebas butahuruf dibawah
umur 45 tahun. Pada waktu Negara kami dilahirkan duapuluh tahun jang lalu
hanja 6% dari kami jang pandai tulis-batja. Indonesia kepunjaan Sukarno
sekarang adalah suatu bangsa jang dua intji lebih tinggi daripada generasi
terdahulu. Apakah masuk diakal, anak-anak bisa tumbuh lebih subur dalam
keadaan kelaparan ?
Akan tetapi wartawan- wartawan
terus sadja menulis, bahwa aku ini seorang "Budak Moskow". Marilah kita
perbaiki ini sekali dan untuk selama- lamanja. Aku bukan, tidak pernah dan
tidak mungkin mendjadi seorang Komunis. Aku menjembah ke Moskow ? Setiap
orang jang pernah mendekati Sukarno mengetahui, bahwa egonja terlalu besar
untuk bisa mendjadi budak seseorang ketjuali mendjadi budak dari rakjatnja.
Namun para wartawan tidak menulis tentang apa-apa jang baik dari Sukarno.
Pokok-pokok jang dibitjarakan hanja tentang jang djelek dari Sukarno.Mereka
suka memperlihat kan Hotel Indonesiaku jang penuh gairah dan dibelakangnja
gambar-gambar daerah pinggiran jang miskin. Alasan dari "orang jang menghamburkan
uang" mendirikan gedung itu ialah, untuk memperoleh devisa jang tidak dapat
kami tjari dengan djalan lain. Kami menghasilkan dua djuta dollar Amerika
setelah hotel itu berdjalan selama setahun. Aku sadar, bahwa kami masih
mempunjai daerah pinggiran jang miskin dekat itu. Akan tetapi negeri-negeri
jang kajapun punja hotel jang gemerlapan, empuk dari jang harganja djutaan
dollar, sedang disudutnja terdapat bangunan bangunan jang tertjela penuh
dengan kotoran, busuk dan djelek. Aku melihat orang-orang kaja dengan segala
kemegahan nja berdjalan dengan sedan-sedan jang mengkilap, akan tetapi aku
djuga melihat mereka-mereka jang malang mentjakar- tjakar dalam tong-sampah
mentjari kulit kentang. Memang ada daerah pinggiran jang miskin diseluruh
kota didunia. Bukan hanja di Djakarta kepunjaan Sukamo. Barat selalu menuduhku
terlalu memperlihatkan muka manis kepada Negara-Negara Sosialis. "Ooohh,"
kata mereka, "Lihatlah Sukarno lagi-lagi bermain-main sahabat dengan Blok
Tnmur."
Jah, mengapa tidak
? Negara-Negara Sosialis tak pernah mengizinkan seorangpun mengedjekku
dalam pers mereka. Negara-Negara Sosialis selalu memudjiku. Mereka tidak
membikin aku malu keseluruh dunia ataupun tidak memperlaku kanku dimaka
umum seperti seorang anak jang tertjela dengan menolak memberikan lebih
banjak djadjan sampai aku mendjadi anak jang manis. Negara-Negara Sosialis
selalu mentjoba untuk merebut hati Sukarno. Krushchov mengirimi aku jam
dan pudding dua minggu sekali dan memetikkan appel, gamdum dan hasil tanaman
lain dari panennja jang terbaik. Djadi, salakkah aku kalau berterima- kasih
kepadanja ? Siapakah jang takkan ramah terhadap seseorang jang bersikap
ramah kepadanja? Aku mengedjar politik netral, ja ! Akan tetapi dalam hati-ketjilnja
siapa jang menjalahkanku, djika aku berkata, "Terima-kasih rakjat-rakjat
Negara Blok Timur, karena engkau selalu memperlihatkan kepadaku tanda persahabatan.
Terima-kasih rakjat-rakjat
Negara Blok Timur, karena engkau berusaha tidak menjakiti hatiku. Terima-kasih,
karena engkau telah menjampaikan kepada rakjatmu bakwa Sukamo setidak-tidaknja
mentjoba sekuat tenaganja berbuat untak negerinja. Terima-kasih atas pemberianmu."
Apa jang kuutjapkan itu adalah tanda terima-kasih" bukan Komunisme ! Aku
ditjela dalam berbagai soal. Mengapa dia - terlalu banjak mengadakan perdjalanan,
musuh-musuhku selalu bertanja. Dibulan Djuni 1960, pada waktu aku mengadakan
perlawatan selama dua bulan empat hari ke India, Hongaria, Austria, RPA,
Guinea, Tunisia, Marokko, Portugal, Cuba, Puerto Rico, San Francisco, Hawaii
dan Djepang, kepadaku ditudjukan kata-kata baru jang dikarang buat diriku.
Aku malahan tidak tahu apa maksud "Have 707 Will Travel" hingga seorang
sahabat bangsa Amerika menerangkan nja.
Memang benar, bahwa
aku adalah satu-satunja Presiden jang mengadakan demikian banjak perlawatan.
Aku sudah kemana-mana ketjuali ke London, sekalipun Ratu Inggris sudah
dua kali mengundangku untuk berkundjung. Aku mengharapkan, disatu saat
dapat menerima keramahannja itu. Ada sebabnja aku mengadakan perlawatan
itu. Aku ingin agar Indonesia dikenal orang. Aku ingin memperlihatkan kepada
dunia, bagaimana rupa orang Indonesia. Aku ingin menjampaikan kepada dunia,
bahwa kami bukan "Bangsa jang pandir" seperti orang Belanda berulang-ulang
kali mengatakan kepada kami. Bahwa kami bukan lagi "Inlander goblok hanja
baik untuk diludahi" seperti Belanda mengatakan kepada kami berkali-kali.
Bahwa kami bukanlah lagi penduduk kelas kambing jang berdjulan menjuruk-njuruk
dengan memakai sarung dan ikat-kepala, merangkak- rangkak seperti jang dikehendaki
oleh madjikan- madjikan kolonial dimasa jang silam. Setelah Republik Rakjat
Tiongkok, India, Uni Soviet, dan Amerika Serikat, maka kami adalah bangsa
jang kelima didunia dalam hal djumlah penduduk. 3000 dari pulau-pulau kami
dapat didiami. Tapi tahukah Saudara berapa banjak rakjat jang tidak mengetahui
tentang Indonesia ? Atau dimana letaknja ? Atau tentang warna kulitnja,
apakah kami sawomatang, hitam, kuning atau putih ?
Jang mereka ketahui
hanja nama Sukarno. Dan mereka mengenal wadjah Sukarno. Mereka tidak tahu,
bahwa negeri kami adalah rangkaian pulau jang terbesar didunia. Bahwa negeri
kami terhampar sepandjang 5.000 kilometer atau menutupi seluruh negeri-negeri
Eropa sedjak dari pantai Barat benuanja sampai keperbatasan paling udjung
disebelah Timur. Mereka tidak tahu, bahwa kami sesudah Australia adalah
negara keenam terbesar, dengan luas tanah sebesar dua djuta mil persegi.
Mereka umumnja tidak menjadari, bahwa kami terletak antara dua benua, benua
Asia dan Australia, dan dua buah Samudra raksasa, Lautan Teduh dan Samudra
Indonesia. Atau, bahwa kami menghasilkan kopi jang paling baik didunia;
dari itu timbulnja utjapan: "A cup of Java". Bahwa setelah Amerika Serikat
dan Uni Sovjet maka Indonesialah penghasil minjak jang terbesar di Asia
Tenggara dan penghasil timah jang kedua terbesar didunia, negara terkaja
dialam semesta dalam hal sumber alam. Atau, bahwa satu dari empat buah
ban mobil ~Amerika dibuat dari karet Indonesia. Namun apa jang mereka mau
tahu hanja nama Sukarno.
Departemen Luar
Negeri kami menjatakan kepadaku, bahwa satu kali kundjungan Sukarno sama
artinja dengan sepuluh tahun pekerdjaan Duta. Dan itulah alasan, mengapa
aku mengadakan perlawatan dan mengapa aku selalu memberikan kenjataan- kenjataan
tentang tanah-airku dalam setiap pidato jang kuutjapkan disetiap pendjuru
dunia. Aku hendak mengadjar orang-orang-asing dan memberikan pandangan
pertama selintas lalu tentang negeriku, jang terhampar menghidjau dan tertjinta
ini laksana untaian zamrud jang melingkar disepandjang katulistiwa.Pada
suatu hari sekretarisku menjerahkan sebuah surat jang beralamat singkat
"Presiden Sukarno, Indonesia, Asia Tenggara". Penulis surat ini berkata,
ia mendengar bahwa aku ini mengekang kemerdekaan pers dan apakah itu benar
dan kalau memang demikian alangkah kedjamnja aku ini ! Orang jang menulis
surat pitjisan ini menamakan aku seorang jang angkara. Dia mengedjek kepadaku,
tapi ini tidak kupedulikan. Tahukah engkau apa jang membuat aku gusar ?
Kenjataan bahwa dia menganggap kantorpos tidak tahu dimana letak Indonesia.
Dan oleh sebab itu dia menambahkan kata-kata ,,Asia Tenggara" pada alamatnja
! Pendapat manusia berdjalan bagai gelombang. Dalam tahun '56 ketika aku
pertamakali berkundjung ke Amerika Serikat, setiap orang menjukaiku. Sekarang
arusnja mendjadi terbalik, menentang Sukarno. Betapapun, aku telah didjadikan
bulan-bu}anan.
Baru-baru ini diserahkan
kepadaku sebuah madjalah remadja Amerika. Madjalah itu memperlihatkan gadis
striptease setengah telandjang, jang hanja memakai tjelana-dalam dan berdiri
disamping Sukarno berpakaian seragam militer lengkap. Ini adalah kombinasi
jang ditempelkan mendjadi satu supaja kelihatan seolah-olah satu foto dari
seorang gadis penari- telandjang membuka pakaiannja dihadapan Presiden Republik
Indonesia. Kedua foto ini ditempelkan -satu dengan jang lain. Ini adalah
perbuatan kotor jang dilakukan terhadap seorang Kepala Negara. Apakah aku
harus mentjintai Amerika, kalau ia melakukan perbuatan seperti itu terhadap
diriku? Aku memper bintjangkan muslihat sematjam ini dengan Presiden Kennedy
jang sangat kuhormati. John F. Kennedy dan aku saling menjukai pergaulan
kami satu sama lain. Dia berkata, ,,Presiden Sukarno, saja sangat mengagumi
Tuan. Seperti saja sendiri, Tuan mempunjai pikiran jang senantiasa menjelidiki
dan bertanja-tanja. Tuan membatja segala-galanja. Tuan sangat banjak mengetahui."
Lalu dia membitjarakan tjita-tjita politik jang kupelopori dan mengutip
bagian-bagian dari pidato-pidatoku. Kennedy mempunjai tjara untuk mendekati
seseorang melalui hati manusia. Kami banjak mempunjai persamaan. Kennedy
adalah orang jang sangat ramah dan menundjukkan persahabatan terhadapku.
Dia membawaku ketingkat atas, kekamar tidurnja sendiri dan disanalah kami
bertjakap-tjakap. Kukatakan kepadanja, ,, Tuan Kennedy, apakah Tuan tidak
menjadari, bahwa sementara Tuan sendiri memadu hubungan persahabatan, seringkali
Tuan dapat merusakkan hubungan dengan negara-negara lain dengan membiarkan
edjekan, serangan makian dan mengizinkan kritik-kritik setjara tetap terhadap
pemimpin mereka dalam pers Tuan ? Kadang-kadang kami lebih tjondong untuk
bertindak atau memberikan reaksi lebih keras, oleh karena kami dilukai
atau dibikin marah. Sesungguhnja apakah pergaulan internasional itu bukan
pergaulan antar manusia dalam hubungan jang lebih besar ? Penggerogotan
terus-menerus sematjam ini merobek-robek keseimbangan dan mempertegang
lebih hebat lagi hubungan jang sulit antara negara lain dengan negeri Tuan."
,,Saja setudju dengan Tuan, Presiden Sukarno. Sajapun telah mendapat kesukaran
dengan para wartawan kami," dia mengeluh. ,,Apakah kami beruntung atau
tidak, namun kemerdekaan pers merupakan satu bagian dari pusaka peninggalan
Amerika." ,,Ketika Alben Barkley mendjadi Wakil Presiden Amerika Serikat,
ia mengundjungi tanah-air saja," kataku. ,,Dan saja sendiri berdiri dekat
beliau diwaktu beliau ditjium oleh serombongan anak-anak gadis tjantik
remadja." ,,Saja jakin, tentu Wakil Presiden Barkley sangat bersenang hati,"
kata Kennedy dengan ketawa jang disembunjikan. ,,Sekalipun demikian tak
satupun surat kabar Indonesia mau menjiarkannja.
Dan disamping itu
mereka tak berani mengambil risiko untuk menimbulkan kesusahan terhadap
seorang negarawan keseluruh dunia. Barkley adalah seorang jang gembira
dan barangkali tidak peduli bila gambarnja itu dimuat. Akan tetapi bukanlah
itu soalnja. Jang pokok adalah bahwa kami berkejakinan perlunja para pemimpin
dunia dilindungi dinegeri kami. "Ke.g"di sa.gbdisep%rasaan denganku mengenai
soal ini dan berkata kepadaku dengan penuh kepertjajaan, ,,Tuan memang
benar sekali, tapi apa jang dapat saja lakukan ? Sedangkan saja dikutuk
dinegeri saja sendiri. "Karena itu kataku, ,,Ja, itulah sistim Tuan. Kalau
Tuan dikutuk dirurnah sendiri, saja tidak dapat berbuat apa-apa. Akan tetapi
saja kira saja tiGek perlu menderita penghinaan seperti itu dinegeri Tuan,
dimana Kepala Negaranja sendiri ~`rus menderita sedemikian. Madjalah Tuan
,,Time" dan ,,Life" terutama sangat kurang-adjar terhadap saja. Tjoba pikir,
,,Time" menulis, ,,Sukarno tidak bisa melihat rok wanita tanpa bernafsu".
Selalu mereka menulis jang djelek-djelek. Tidak pernah hal-hal jang baik
jang telah saja kerdjakan. "Sekalipun Presiden Kennedy dan aku telah mengadakan
pertemuan pendapat, persetudjuan dalam lingkungan ketjil ini tidak pernah
tersebar dalam pers Amerika Serikat. Masih sadja, hari demi hari, mereka
menggambarkanku sebagai pengedjar-tjinta. Ja, ja, ja, aku mentjintai wanita.
Ja, itu kuakui. Akan tetapi aku bukanlah seorang anak-pelesiran sebagaimana
mereka tudukkan padaku.
Di Tokyo aku telah
pergi dengan kawan-kawan kesuatu Rumah Geisha. Tiada sesuatu jang melanggar
susiia mengenai Rumah Geisha itu. Orang sekedar duduk, makan-makan, bertjakap-tjakap
dan mendengarkan musik. Hanja itu. Akan tetapi dalam madjalah-madjalah
Ba rat digembar-gemborkn seolah-olah aku ini Le Grand Seducteur.Tanpa hiburan-hiburan
ketjil ini aku akan mati. Aku mentjintai hidup. Orang-orang-asing jang
mengundjungi istanaku menjatakan, bahwa aku menjelenggarakan ,,su`tu istana
jang menjenangkan." Adjudan-adjudanku mempunjai wadjah-wadjah jang senjum.
Aku berkelakar dengan mereka, menjanji dengan mereka. Bila aku tidak memperoleh
kegembiraan, njanjian dan sedikit hiburan kadang-kadang, aku akan dibinasakan
oleh kehidupan ini. Umurku sudah 64 tahun. Mendjadi Presiden adalah pekerdjaan
jang membikin orang lekas tua. Dan kalau orang mendjadi tua, tentu tidak
baik bagi seseorang. Karena itu, sesekali aku harussxari dari keadaan ini,
supaja aku dapat hidup seterusnja.Banjak kesenangan-kesenangan jang sederhana
telah dirampas dariku. Misalnja, dimasa ketjilku aku telah mengelilingi
pulau Djawa dengan sepeda. Sekarang perdjalanan sematjam itu tidak dapat
kulakukan lagi, karena tentu tidak sedikit orang jang akan mengikutiku.
Di Hollywood aku
diberi kesempatan untuk rnelihat-lihat disekitar studio-studio film. Waktu
meninggalkan halaman studio aku melihat seorang anak pengantar-surat lewat
dengan sepeda, lalu menghentikan sepedanja untuk sesaat. Tiba-tiba aku
merasa senang dan pikiranku terbuka, karena itu aku naik dan pergi. Aku
bukan hendak memberi kesan kepada siapapun. Hanja karena merasa senang.
Jah, gema dan gambarku ini tersebar keseluruh dunia ini. Dinegeriku sendiripun
aku tak dapat lagi menikmati kesenangan jang paling memuaskan hati, jaitu
menggeledahi toko-toko kesenian, melihat-lihat benda jang akan dikumpulkan,
lalu menawarnja. Kemanapun aku pergi, rakjat berkumpul berbondong-bondong.
Dokterku telah memperhatikan, bahwa kegembiraan memang mutlak perlu buat
mendjaga kesehatanku. Dengan demikian aku bisa terlepas sedikit dari diriku
sendiri dan dari pendjaraku. Karena begitulah keadaanku. Seorang tawanan.
Tawanan dari tata-tjara serba resmi. Tawanan dari tata-tjara kesopanan.
Tawanan dari peri-laku jang baikSetiap orang harus mentjari suatu kesenangan
supaja terlepas dari segala tata-laku ini. Presiden Ayub Khan main golf,
Kennedy berperahu lajar, Pangeran Norodom Sihanouk mengarang musik, Radja
Muang Thai main saxophone, Lyndon Johnson mempunjai tempat peternakan.
Akupun memerlukan kesenangan. Karena itu, bila aku mengadakan perdjalanan,
aku mengizinkan diriku sendiri dengan kesenangan mendjalankan tugas dalam
mengedjar kebahagiaan. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Amerika Serikat
setiap orang berhak mengedjarnja.Mendjadi Presiden karena diperlukan menjebabkan
orang mendjadi terasing. Ketjakapan dan sifat-sifat jang memungkinkan orang
menduduki djabatan Presiden itu adalah ketjakapan dan sifat itu djuga jang
menjebabkan ia diasingkan. Akan tetapi, dimata orang luar aku selalu gembira.
Pembawaanku adalah demikian, sehingga perasaan susah jang teramat sangat
tidak pernah memperlihatkan diri. Sekalipun perasaanku hantjur-luluh didalam,
orang tak dapat menduganja. Bukankah Sukarno terkenal dengan ,,senjumnja"
? Apapun djuga persoalanku� Malaysia, kemiskinan, lagi-lagi pertjobaan
pembunuhan�Sukarno dari luar senantiasa gembira. Seringkali aku duduk-duduk
seorang diri diberanda Istana Merdeka. Beranda itu tidak begitu indah.
Setengah tertutup dengan lajar untuk menghambat panas dan tjahaia matahari.
Perabotnja terdiri dari korsi rotan jang tidak dilapis dan tidak ditjat
dan medja beralas kain batik halus buatan negeriku. Suatu keistimewaan
jang kuperoleh karena djabatan tinggi adalah sebuah korsi jang menjendiri
pakai bantal. Itulah jang dinamakan ,,Korsi Presiden".'Dan aku duduk disana.
Merenung. Dan memandang keluar ketaman indah jang menghilangkan kelelahan
pikiran, taman jang kutanami dengan tanganku sendiri. Dan batinku merasa
sangat sepi.Aku ingin bertjampur dengan rakjat. Itulah jang mendjadi kebiasaanku.
Akan tetapi aku tidak dapat lagi berbuat demikian.
Seringkali aku
merasakan badanku seperti akan lemas, napasku akan berhenti, apabila aku
tidak bisa keluar dan bersatu dengan rakjat-djelata jang melahirkanku.
Kadang-kadang aku mendjadi seorang Harun al Rasjid. Aku berputar-putar
keliling kota. Seorang diri. Hanja dengan seorang adjudan berpakaian preman
dibelakang kendaraan. Terasa olehku kadangkadang, bahwa aku harus terlepas
dari berbagai persoalan untuk sesaat dan merasakan irama denjut djantung
tanah-airku. Namun persoalan-persoalan selalu mengikutiku bagai bajangan
besar dan hitam dan jang datang dengan samar menakutkan dibelakangku. Aku
takkan bisa lepas daripadanja. Aku takkan keluar dari genggamannja. Aku
takkan dapat madju dengannja. Ia bagai hantu jang senantiasa mengedjar-ngedjar.
Pakaian seragam dan petji hitam merupakan tanda pengenalku. Akan tetapi
adakalanja kalau hari sudah malam aku menukar pakaian pakai sandal, pantalon
dan kalau hari terlalu panas aku hanja memakai kemedja. Dan dengan- katjamata
berbingkai tanduk rupaku lain samasekali. Aku dapat berkeliaran tanpa dikenal
orang dan memang kulakukan. Ini kulakukan karena ingin melihat kehidupan
ini. Aku adalah kepunjaan rakjat. Aku harus melihat rakjat, aku harus mendengarkan
rakjat dan bersentuhan dengan mereka. Perasaanku akan tenteram kalau berada
diantara mereka. Ia adalah roti-kehidupan bagiku. Dan aku merasa terpisah
dari rakjat-djelata.Kudengarkan pertjakapan mereka, kudengarkan mereka
berdebat, kudengarkan mereka berkelakar dan bertjumbu-kasih. Dan aku merasakan
kekuatan hidup mengalir keseluruh batang tubuhku. Kami pergi dengan mobil
ketjil tanpa tanda pengenal. Adakalanja aku berhenti dan membeli sate dipinggiran
djalan. Kududuk seorang diri dipinggir trottoir dan menikmati djadjanku
dari bungkus daun pisang. Sungguh saat-saat jang menjenangkan. Rakjat segera
mengenalku apabila mendengar suaraku. Pada suatu malam aku pergi ke Senen,
disekitar gudang kereta-api, dengan seorang Komisaris Polisi. Aku berputar-putar
ditengah-tengah rakjat dan tak seorangpun memperhatikan kami. Achirnja,
untuk sekedar berbitjara aku bertanja kepada seorang laki-laki, ,,Dari
mana diambil batubata ini dan bahan konstruksi jang sudah dipantjangkan
ini ?" Sebelum ia dapat memberikan djawaban, terdengar teriakan, ,,Hee,"
teriak suara perempuan, ,,Itu suara Bapak Ja suara Elapak Hee, orang-orang,
ini Bapak Bapak "Dalam beberapa detik ratusan kemudian ribuan rakjat datang
berlari-lari dari segala pendjuru Dengan tjepat Komisaris itu membawaku
keluar dari situ, masuk mobil ketjil kami dan menghilang. Ditindjau setjara
keseluruhan maka djabatan Presiden tak ubahnja seperti suatu pengasingan
jang terpentjil. Memang ada beberapa orang kawanku. Tidak banjak. Seringkali
pikiran oranglah jang berobah-obah, bukan pikiranmu. Mereka memperlakukanmu
lain. Mereka turut mentjiptakan pulau kesepian ini disekelilingmu. Karena
itulah, apabila aku terlepas dari pendjaraku ini, aku menjenangkan diriku
sendiri.
Di Tokyo aku bisa
pergi ke Kokusai Gekijo, dimana mereka mempertundjukkan diatas panggung
sekaligus empatratus gadis-gadis djelita. Ditahun 1963 aku baru tahu, bahwa
Duta Besar Indonesia untuk Djepang diwaktu itu tidak pernah mengundjungi
panggung ini. Aku mengumpatnja, ,,Hei, Bambang Sugeng, engkau ini Duta
Besar jang malang. Seorang diplomat harus mengetjap setiap djenis ke hidupan
negeri dimana dia ditempatkan. Hajo Mari kita pergi melihat gadis-gadis
itu. "Akupun mengadjak seorang Indonesia jang bersusila kawakan, jang kaget
apabila Presidennja mempertjakapkan wanita. Orang ini mengerling pada gadis-gadis
jang tjantik ini, kemudian bangkit dan berkata, ,,Saja tidak dapat menjaksikannja.
Saja akan pergi sadja. Terlalu menegangkan pikiran saja." Dia seorang munafik.
Aku bentji orang-orang munafik. Sudah barang tentu lagi-lagi reputasiku
menjebabkan aku mendjadi korban keadaan. Di Fiiipina ditahun 1964, Presiden
Diosdado Macapagal menjambutku dilapangan terbang. Beliau mengiringkanku
ke Laurels Mansion dimana aku menginap. Disana tinggal Tuan Laurels bekas
Presiden Filipina, isterinja dan anak-tjutjunja. Untuk lebih memeriahkan
kedatanganku mereka mendatangkan Bayanihan Cultural Ensemble, suatu perkumpulan
paduan-suara, jang menjambutku dengan Tari Lenso sebagai tanda penghormatan.
Dua orang wanita muda tampil dari dalam kelompok ensemble itu dan meminta
kepadaku untuk turut menari. Sukar untuk menolaknja, karena itu aku mulai
menari dan GEGER ! Kilat lampu ! Djepretan karnera ! Dan induk karangannja:
,,Lihat Sukarno pengedjar-tjinta mulai lagi". Aku menjukai gadis-gadis
jang menarik disekelilingku, karena gadis-gadis ini bagiku tak ubahnja
seperti kembang jang sedang mekar dan aku senang memandangi kembang. Ditahun
1946, dihari-hari jang berat itu semasa revolusi fisik, isteri dari sekretaris-duaku
datang setiap pagi hanja sekedar untuk membelah telor untuk sarapanku.
Ah, sebenarnja aku sendiri bisa memetjahkannja, akan tetapi isteriku tak
pernah bangun begitu pagi dan aku merasa lebih tenang dan kuat disaat-saat
jang tegang seperti itu apabila melihat barang sesuatu tersenjum disekitarku.
Aku merasa terhibur oleh wanita-wanita muda disekeliling kantorku. Apabila
para tetamu menjiasati tentang adjudan-adjudan wanitaku jang masih muda-belia,
aku berkelakar kepada mereka, ,,Perempuan tak ubahnja seperti pohon karet.
Dia tidak baik lagi setelah tigapuluh tahun." Katakanlah, aku bereaksi
lebih baik terhadap wanita. Wanita lebih mengerti. Wanita lebih bisa turut
merasakan. Kuanggaip mereka memberikan kesegaran. Djustru wanitalah jang
dapat memberikan ini kepadaku. Sekali lagi, aku tidak berbitjara dalam
arti djasmaniah. Aku hanja sekedar tertarik pada suatu pandangan jang lembut
atau sesuatu jang kelihatan indah. Sebagai seorang seniman, aku tertarik
menurut pembawaan watak kepada segala apa jang menjenangkan pikiran. Bila
hari sudah larut aku merasa lelah. Seringkali aku kehabisan tenaga, sehingga
sukar untuk menggerakkan persendian. Dan apabila seorang sekretaris laki-laki
berbadan besar, tidak menarik, buruk dan botak datang membawa setumpukan
tinggi surat-surat untuk ditandatangani, aku akan berteriak kepadanja supaja
dia segera pergi dan membiarkanku seorang diri. Sepihan-sepihan kulitnja
akan rontok dari badannja karena kaget. Aku akan menggeledek kepadanja.
Aku akan bangkitkan petir diatas kepalanja. Akan tetapi bilamana jang datang
seorang gadis sekretaris berbadan ramping, dengan dandan jang rapi dan
meluapkan bau harum menjegarkan tersenjum manis dan berkata kepadaku dengan
lunak, ,,Pak, silahkan ", tahukah engkau apa jang terdjadi ? Bagaimanapun
keadaan hatiku, aku akan mendjadi tenang. Dan aku akan selalu berkata,
,,Baik". Ditahun '61 aku sakit keras. Di Wina para ahli mengefuarkan batu
dari gindjalku. Waktu itu adalah saat memuntjaknja perdjoangan kami merebut
kembali Irian Barat dan dalam kalangan lawan-lawan kami timbul kegembiraan.
Tidak guna lagi
mengutuk Sukarno dan memintaminta supaja dia mati, karena Sukarno sekarang
sedang menudju kematiannja. Karena itu para dokter melakukan perawatan
jang lebih teliti terhadap diriku. Mereka membudjuk hatiku, ,,Djangan kuatir,
Presiden Sukarno, kami akan memberikan perawat-perawat jang berpengalaman
untuk mendjaga Tuan." Hehhhh ! ! Ketika hal ini disampaikan kepadaku, keadaanku
mendjadi lebih pajah daripada sewaktu aku mula-mula masuk. Aku tahu apa
jang akan kuhadapi. Aku tidak berkata apa-apa, karena aku tidak mau menentang
dokter. Pendeknja dihari berikut ia melakukan pembedahan dan aku ingin
agar hatinja senang terhadapku selama ia mendjalankan pembedahan itu. Akan
tetapi sementara itu aku berpikir dalam hatiku sendiri, ,,Aku akan lebih
tjepat sembuh idengan gadis-gadis perawat jang tidak berpengalaman, karena
jang sudah punja pengalaman 40 tahun tentu setidak-tidaknja sekarang sudah
berumur 55 !"Orang mengatakan, bahwa Sukarno suka melihat perempuan tJantik
dengan sudut matanja. Kenapa mereka berkata begitu ? Itu tidak benar. Sukarno
suka memandangi perempuan tjantik dengan seluruk bola matanja. Akan tetapi
ini bukanlah suatu kedjahatan. Sedangkan Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi
wasallam mengagumi keindahan. Dan sebagai seorang Islam jang beriman aku
adalah pengikut Nabi Muhammad jang mengatakan, ,,Tuhan jang dapat mentjiptakan
machluk-machiuk jang tjantik seperti wanita adalah Tuhan Jang Maha-Besar
dan Maha-Pengasih." Aku setudju dengan utJapan beliau.Seperti jang dikisahkan,
Muhammad mempunjai seorang budak bernama Said. Said, orang jang pertama-tama
masuk Islam, mempunjai isteri jang sangat tjantik bernama Zainab. Ketika
Muhammad melihat Zainab, beliau mengutjapkan ,,Allahu Akbar", Tuhan MahaBesar.Tatkala
murid-muridnja bertanja, mengapa beliau mengutjapkan Allahu Akbar ketika
melihat Zainab, maka beliau mendjawab, ,,Aku memudji Tuhan karena telah
mentjiptakan machluk-machluk jang tjantik seperti perempuan ini." Aku mendjundjung
Nabi Besar. Aku mempeladjari utjapan-utjapan beliau dengan teliti. Djadi,
moralnja bagiku adalah: bukanlah suatu dosa atau tidak sopan kalau seseorang
mengagumi seorang perempuan jang tjantik. Dan aku tidak malu berbuat begitu,
karena dengan melakukan itu pada hakekatnja aku memudji Tuhan dan memudji
apa jang telah ditjiptakan-Nja.Aku hanja seorang pentjinta ketjantikan
jang luarbiasa. Aku mengumpulkan benda-benda perunggu karja seni dari Budapest,
seni pualam dari Italia, lukisan-lukisan dari segala pendjuru.
Untuk Istana Negara
di Djakarta aku sendiri berbelandja membeli kandil kristal jang berat dan
korsi beludru tjukilan emas di Eropa. Aku memungut permadani di Iraq. Aku
membnat sendiri rentjana medja kantorku dari satu potong kajudjati Indonesia
jang utoh. Aku merentjanakan medja ruang-makan Negara dari satu potong
kajudjati Indonesia. Aku menggantungkan setiap kain-hiasan- dinding, memilih
setiap barang, merentjanakan dimana harus diletakkan setiap pot-bunga atau
karja seni-pahat. Kalau aku melihat sepotong kertas dilantai, aku akan berhenti
dan memungutnja. Anggota Kabinet tertawa melihat bagaimana aku, ditengah-tengah
persoalan jang pelik, datang kepada mereka dan meluruskan dasinja. Aku
senang bila makanan diatur setjara menarik diatas medja. Aku mengagumi
keindahan dalam segala bentuk.
Dalam perkundjungan nja
ke Istana Negara di Bogor, seorang Texas terpikat hatinja pada salah-satu
benda seniku. ,,Tuan Presiden," katanja tiba-tiba. ,,Saja akan menjampaikan
apa jang hendak saja kerdjakan untuk Tuan. Saja akan menjerahkan sebuah
Cadillac sebagai ganti ini." Kukatakan kepadanja jah, tak soal kata-kata
apa jang telah kuutjapkan kepadanja. Tapi pokoknja adalah ,,Tidak".Tidak
satupun dari benda-benda indah jang telah kukumpulkan dapat ditukar dengan
Cadillac. Kalau aku senang kepadamu, engkau akan kuberi sebuah lukisan
atau barang tenunan sebagai hadiah. Akan tetapi untuk mendjualnja, tidak,
sekali-kali tidak. Semua itu akan kuwariskan kepada rakjat Indonesia, bilamana
aku pergi. Biarlah rakjatku memasukkan nja kedalam Museum Nasional. Kemudian,
apabila mereka lelah atau pikirannja katjau, biarlah mereka duduk dihadapan
sebuah lukisan dan meneguk keindahan dan ketenangannja, sehingga mengisi
seluruh kalbu mereka dengan kedamaian seperti ia djuga terdiadi terhadap
diriku. Ja, aku akan mewariskan hasil-hasil seni ini kepada rakjatku. Untuk
didjual ? Djangan kira ! Seorang orang-asing jang mengerti kepadaku adalah
Dutabesar Amerika di Indonesia, Howard Jones.
Ia sudah lama ditempatkan
di Djakarta dan mendjabat sebagai Ketua dari Korps Diplomatik. Kami sering
terlibat dalam perdebatan-perdebatan sengit dan pahit, akan tetapi aku
semakin memandangnja sebagai seorang kawan jang tertjinta. Uraian Howard
tentang diri pribadiku adalah: ,,Suatu perpaduan antara Franklin Delano
Roosevelt dan Clark Gable." Apakah orang heran7aapabila aku menjebutnja
sebagai seorang kawan jang tertjinta ? Disuatu hari Minggu beberapa tahun
jang silam, ia dengan isterinja Marylou makan bersama- sama denganku dan
isteriku Hartini dipaviljun ketjil karni di Bogor. Bogor adalah tempat
didaerah pegunungan jang sedjuk diluar kota Djakarta. Berlainan dengan
dugaan orang bahwa aku mempunjai kran-kran dari emas murni seperti sepantasnja
bagi Jang Dipertuan didaerah Timur, maka aku tidak tinggal di Istana Negara
jang besar itu. Dipekarangannja kami mempunjai sebuah bungalow ketjil jang
besaruja kira-kira sama dengan jang dipunjai oleh seorang pedjabat biasa.
Bungalow ini terdiri dari beberapa kamar-tidur, suatu ruang-makan ketjil
dan ruang-duduk jang sangat ketjil. Ia tidak mewah. Sederhana sekali. Akan
tetapi menjenangkan dan itulah rumahku.Selagi makan Howard berkata, ,,Tuan
Presiden, saja kira sudah waktunja bagi Tuan untuk melihat kembali djalan-djalan
dalam sedjarah. Menurut pendapat saja sudah tepat waktunja bagi Tuan untuk
menuliskan sedjarah hidup Tuan." Seperti biasa, apabila seseorang menjebut-njebut
tentang otobiografi, aku mendjawab, ,,Tidak.
Insja Allah, djika
Tuhan mengizinkan, saatnja masih 10 atau 20 tahun lagi. Bagaimana saja
bisa mengetahui apa jang akan terdjadi terhadap diriku ? Siapa jang dapat
mentjeriterakan, bagaimana djalannja kehidupan saja ? Itulah sebabnja mengapa
saja selalu menolak hal ini, karena saja jakin bahwa buruk-baiknja kehidupan
seseorang hanja dapat dipertimbangkan setelah ia mati." ,,Terketjuali Presiden
Republik Indonesia," djawabnja. ,,Disamping telah mendjadi Kepala Negara
selama 20 tahun, ia telah dipilih sebagai Presiden seumur hidup. Ia adalah
orang jang paling banjak diperdebatkan dan dikritik didjaman kita ini.
Ia " ,, mempunjai banjak rahasia," kataku dengan senjum jang disembunjikan.,, Akan
tetapi dialah satu-satunja orang jang dapat memberanikan diri untuk mengguratkan nja
dan disamping itu mendjawab serangan serangan dari para pengeritiknja dan
kawan-kawannja. "Pertemuan ini merupakan pertemuan kekeluargaan jang tidak
formil. Aku pakai badju sport dan tidak bersepatu. Hartini membuat nasigoreng,
karena dia tahu bahwa keluarga Jones sangat dojan pada nasi-goreng- ajam
dan Presiden makan puluk artinja makan dengan tangan�dan kami duduk disekitar
medja bersama-sama menikmati saat-saat istirahat jang menjenangkan, jang
hanja dapat dilakukan diantara kawan-kawan lama.,, Untuk membuat otobiografi
jang sesungguhnja sipenulis hendaknja dalam keadaan jang- susah seperti
Rousseau ketika dia menulis pengakuan- pengakuannja dan pengakuan jang demikian
ternjata sukar bagi saja. Banjak tokoh jang masih hidup akan menderita,
apabila saja mentjeriterakan semuanja. Dan banjak pemerintahan- pemerintahan,
dengan mana saja sekarang mempuniai hubungan jang baik, akan mendapat serangan
sedjadi-djadinja apabila saja menjatakan beberapa hal jang ingin saja tjeriterakan." ,,Walaupun
bagaimana, Tuan Presiden, orang-orang-asing merobah pendirian mereka setelah
bertemu dengan Tuan dan djatuh kedalam kekuatan pribadi Bung Karno jang
terkenal dan menarik seperti besiberani. Kalau Tuan terus madju dengan
daja-penarik pribadi Tuan itu, maka saja jakin kritikus jang paling tadjampun
kemudian akan berkata, ,,Hee, dia sesungguhnja tidak bernapaskan asap dan
api seperti naga. Dia sangat menjenangkan. ",,Itulah sebabnja saja pada
dasarnja ingin berkawan," kuterangkan kepadanja. ,, Saja menjukai orang
Timur, saja menjukai orang Barat bahkan Tengku Abdul Rahman sendiri dan
orang Inggris. Pun djuga orang-orang jang membentji saja. Setiap saat apa-bila
mereka ingin bersahabat, saja lebih ingin lagi dari itu. Suatu kalisaja
mengetahui bahwa De Gaulle tidak senang kepada saja. Sekalipun demikian
saja bertemu dengan dia di Wina. Setelah itu sikap nja berobah." ,,Itulah
maksud saja," Jones melandjutkan. ,,Tuan tidak bisa mendatangi sendiri
seluruh rakjat didunia, akan tetapi Tuan dapat datang kepada mereka dengan
melalui halaman-halaman buLu. Tuan menawan hati sedjuta pendengar dilapangan
terbuka. Mengapa Tuau tidak menghendaki djumlah pendengar jang lebih besar
lagi. "Pertjakapan ini berlangsung terus sampai makan perabung, berupa pisang-rebus
kesukaanku. ,,Begini," kataku. ,,Suatu otobiografi tidak ada harganja,
ketjuali djika sipenulis merasa kehidupannja tidak berguna apa-apa. Kalau
dia menganggap dirinja seorang besar, karjanja akan mendjadi subjektif.
Tidak objektif. Otobiografiku hanja mungkin djika ada perimbangan dari
kedua-duanja. Sekian banjak jang baikbaik supaja dapat menenangkan egoku
dan sekian banjak jang djelek-djelek sehingga orang mau membeli buku itu.
Kalau dimasukkan hanja jang baik-baik sadja orang akan menjebutmu egois,
karena memudji diri sendiri. Memasukkan hanja jang djelek-djelek sadja
akan menimbulkan suasana mental jang buruk bagi rakjatku sendiri. Hanja
setelah mati dunia ini dapat ditimbang dengan djudjur, 'Apakah; Sukarno
manusia jang baik ataukah manusia jang buruk ?' Hanja di-saat itulah dia
baru dapat diadili. "Bertahun- tahun lamanja orang mendesakku untuk menuliskan
kenang- kenanganku. Press Officerku, Njonja Rochmuljati Hamzah, selalu mendjadi
perantara.Satu kali aku betul-betul membentak- bentak Roch jang manis ituDitabun
1960, ketika Krushchov sedang berkundjung kemari, ada seratus orang wartawan-asing
berkerumun dibawah tangga. Disatu. saat dia berkata, ,,Ma'af, Pak, Bapak
djar~gan marah, karena kami sendiripun tidak mengetahui sedjarah hidup
Bapak. Dan Bapak sedikit sekali memberikan wawantjara. Oleh karena itu
dapatkah Bapak menenteramkan hati saja barang sedikit dan menerima seorang
wartawan CBS jang ramah sekali dan ingin menulis riwajat hidup Bapak ?"
Aku berpalin' kepadanja dan menjembur. ,,Berapa kali aku harus mengatakan
kepadamu, T-I-D-A-K ! ! Pertama, aku tidak mengenalnja, akan tetapi kalau
aku pada satu saat menulis riwajat hidupku, aku akan kerdjakan dengan seorang
perempuan. Sekarang djauh-djauhlah dari penglihatanku. Engkau seperti pesurah
wartawan asing." Roch berlari keluar dan pulang kerumahnja. Kemudian aku
merasa menjesal. Adjudanku menelpon Roch dan. memberitahukan, bahwa aku
hendak beItemu dengan dia. Lalu kukirimi kendaraan untuk mendjemputnja.
Dia datang dan mengira bahwa akan menerima semprotan lagi, akan tetapi
sebaliknja, Presidennja hendak minta ma'af kepadanja.
,,Ma'afkanlah aku,
Roch, " kataku. ,,Kadang- kadang aku berteriak dan menjebut nama-nama buruk,
akan tetapi sebenarnja akulah itu. Djangan masukkan kata-Lata itu dalam
hatimu. Kalau aku meradang, itu berarti aku mentjintaimu. Aku menjemprot
kepada orang-orang jang terdekat dan paling kusajangi. Hanja mereka jang
mendjadi papan-suaraku." Kemudian kutjium dia dipipinja, tjara jang biasa
kulakukan sebagai salam pertemuan dan perpisahan dengan anakanak perempuan
sekretarisku dan dia pergi dengan hati jang senang sekali. Itu sebabnja,
mengapa persoalan- persoalan Asia harus diselesaikan dengan tjara Asia.
Tjaraku bukanlah sesungguhnja gaja Barat, kukira. Aku tak dapat membajangkan
seorang Perdana Menteri Inggris memeluk sekretaris- wanitanja sebagai utjapan
selamat pagi atau utjapan-ma'af, setelah mana perempuan itu lari keluar
dan membiarkan dia sendiri.Aku tidak menduga, tidak lama setelah kedjadian
ini aku bertemu dengan Cindy Adams. Cindy, seorang wartawan-wanita, berada
di Djakarta ditahun 1961 dengan suaminja pelawak Joey Adams, jang memimpin
Missi Kesenian Presiden Kennedy ke Asia Tenggara. Wanita Amenka jang riang
dan rapi ini, dengan pembawaannja jang suka berkelakar, menjebabkan aku
seperti kena pukau. Wawantjara dengan Cindy menjenangkan sekali dan tidak
menjakitkan hati. Tulisannja djudjur dan dapat dipertjaja sepen~nja. Bahkan
dia nampaknja dapat merasakan sedikit tentang Indonesia dan persoalan persoalannja
dan, jah, dia adalah seorang penulis jang paling menarik jang pernah kudjumpai
!Kami orang Djawa bekerdja dengan instink. Setahun lamanja aku mentjari-tjari
seorang wanita jang akan mendjabat sebagai press officer, akan tetapi ketika
aku melihat Roch aku segera mengetabui~ bahwa dialah jang kutjari. Kupekerdjakan
dia segera. Begitupun halnja dengan Cindy.Pada kesempatan lain, ketika
Howard Jones memulai lagi pokok pembitjaraan tentang sedjarah hidupku,
aku memberikan 'surprise~ kepadanja. Aku meringis. ,,Dengan satu sjarat.
Bahwa aku mengerdjakan nja dengan Cindy Adams. "Dan apakah achiroja jang
menjebabkan aku mengambil keputusan uatuk mengerdjakan sedjarah hidupku
? Jah, mungkin djuga benar, sudah mendekat waktu aku harus rnenjadari,
bahwa aku sud'ah tua
Sekarang, mataku
jang sudah tua dan malang itu berair. Aku harus memandang gambaran ini
dengan alasan. Disatu pagi jang lain seorang kemenakan datang menemuiku.
Aku biasa memangkunja kelika dia masih ketjil. Sekarang beratnja 70 kilo.
Aku menjadari dengan tibatiba, bahwa aku tidak dapat memangkunja lagi diatas
lututku. Mungkin dia akan memataLkan kakiku jang tua dan lelah itu. Memang
wanita tjantik dapat membikin hatiku mendjadi muda lagi, akan tetapi bila
aku menginsjafi bahwa anak itu sekarang mendjadi ibu dari beberapa orang
anak, tahulah aku bahwa aku sudah berangsur tua djuga.Dan begitulah, waktunja
sudah datang. Kalau aku hendak menuliskan kisahku, aku harus mengguratkannja
sekarang. Mungkin aku tidak mempunjai kesempatan nanti. Aku tahu, bahwa
orang ingin mengetabui, apakah Sukarno seorang kolaborator Djepang semasa
Perang Dunia Kedua. Kukira hanja Sukarno jang dapat menerangkan periode
kehidupannja itu dan karena itu ia bersedia menerangkannja. Bertahun- tahun
lamanja orang bertanja- tanja, apakah Sukarno seorang Diktator, apakah dia
seorang Komunis; mengapa dia tidak membenarkan kemerdekaan pers; berapa
banjak isterinja; mengapa dia membangun departemen- store-departemen- store
jang baru, sedangkan rakjatnja dalam keadaan tjompang- tjamping .........Hanja
Sukarno sendiri jang dapat mendjawabnja.Ini adalah pekerdjaan jang sukar
bagiku. Suatu otobiografi adalah ibarat pembedahan- mental bagiku. Sungguh
berat. Menjobek plester pembalut luka-luka dari ingatan seseorang dan membuka
luka-luka itu, memang sakit-sekalipun banjak diantaranja jang sudah mulai
sembuh. Tambahan lagi, aku akan melakukannja dalam bahasa Inggris, bahasa
asing bagiku. Terkadang aku membuat kesalahan dalam tata-bahasa dan seringkali
aku terhenti karena merasa agak kaku.Akan tetapi, mungkin djuga aku wadjib
mentjeritakan kisah ini kepada tanah-airku, kepada bangsaku, kepada anak-anakku
dan kepada diriku sendiri. Karenanja kuminta kepadamu, pembatja, untuk
mengingat bahwa, lebih daripada bahasa kata-kata jang tertulis adalah bahasa
jang keluar dari lubuk-hati. Buku ini tidak ditulis untuk mendapatkan simpati
atau meminta supaja setiap orang suka kepadaku. Harapanku hanjalah, agar
dapat menambah pengertian jang lebih baik tentang Sukarno dan dengan itu
menambah pengertian jang lebih baik terhadap Indonesia jang tertjinta.
Sambil berdjalan kutanjakan
kepadanja, apa jang sedang dipikirkannja.
"Ja, Pak," ia memulai, "Sebenarnja
kabar baik." "Apa maksudmu dengan sebenarnja kabar baik ?" tanjaku. "Ja,"
katanja, "Rakjat sangat menghargai Bapak.
Mereka mentjintai Bapak.
Dan
terutama rakjat- djelata.
Saja mengetahui, karena saja baru menjaksikan
sendiri suatu keadaan jang menundjukkan penghargaan terhadap Bapak.
Kemudian
ia berhenti.
"Teruslah," desakku, "Katakan padaku.
"Begini, Pak," ia
mulai lagi. "Kita mempunjai suatu daerah, dimana perempuan- perempuan latjur
semua ditempatkan setjara berurutan.
Kami memeriksa daerah itu dalam waktu-waktu
tertentu, karena sudah mendjadi tugas kami untuk mengadakan pengawasan
tetap.
Kemarin suatu kelompok memeriksa keadaan mereka dan Bapak tahu apa
jang mereka temui -
Mereka menjaksikan potret Bapak, Pak.
Digantungkan
didinding."
"Dimana aku digantungkan ?" tanjaku kepadanja.
"Ditiap kamar,
Pak. Ditiap kamar terdapat, sudah barang tentu, sebuah tempat-tidur.
Dekat
tiap randjang ada medja dan tepat diatas medja itu disitulah gambar Bapak
digantungkan.
"Dengan gugup ia mengintai kepadaku sambil menunggu perintah.
"Pak, kami merasa bahagia karena rakjat kita memuliakan Bapak, tapi dalam
hal ini kami masih ragu apakah wadjar kalau gambar Presiden kita digantungkan
didinding rumah pelatjuran.
Apa jang harus kami kerdjakan ?
Apakah akan
kami pindahkan gambar Bapak dari dinding-dinding itu ?" "Tidak," djawabku.
"Biarkanlah aku disana.
Biarkan mataku jang tua dan letih itu memandangnja!
"Tidak seorangpun dalam peradaban modern ini jang menimbulkan demikian
banjak perasasn pro dan kontra seperti Sukarno.
Aku dikutuk seperti bandit
dan dipudja bagai Dewa
.Tidak djarang kakek-kakek datang berkundjung kepadaku
sebelum mereka imengachiri hajatnja.
Seorang nelajan jang sudah tua, jang
tidak mengharapkan pudjian atau keuntungan, berdjalan kaki 23 hari lamanja
sekedar hanja untuk sudjud dihadapanku dan mentjium kakiku. Ia menjatakan,
bahwa ia telah berdjandji pada dirinja sendiri, sebelum mati ia akan melihat
wadjah Presidennja dan menundjukkan ketjintaan serta kesetiaan kepadanja.
Banjak jang pertjaja bahwa aku seorang Dewa, mempunjai kekuatan- kekuatan
sakti jang menjembuhkan.
Hanja air-leding biasa dan jang diambil dari dapur.
Ia jakin, bahwa air ini, jang kuambil sendiri, tentu mengandung zat-zat
jang menjembuhkan.
Aku tidak bisa bersoal- djawab dengan dia. karena orang
Djawa adalah orang jang pertjaja kepada ilmu kebatinan, dan ia jakin bahwa
ia akan kehilangan anaknja kalau tidak membawa obat ini dariku.
Kuberikan
air itu kepadanja.
Dan seminggu kemudian anak itu sembuh kembali.
Aku senantiasa
mengadakan perdjalanan kepelbagai pelosok tanah air dari Sabang, negeri
jang paling utara dari pulau Sumatra, sampai ke Merauke di Irian Barat
dan jang paling timur.
Beberapa tahun jang lalu aku mengundjungi sebuah
desa ketjil di Djawa Tengah.
Seorang perempuan dari desa itu mendatangi
pelajanku dan membisikkan, "Jangan biarkan orang mengambil piring Presiden.
Berikanlah kepada saja sisanja. Saja sedang mengandung dan saja ingin anak
laki-laki.
Saja mengidamkan seorang anak seperti Bapak.
Djadi tolonglah,
biarlah saja memakan apa-apa jang telah didjamah sendiri oleh Presidenku."
SPONSOR
11200